Kisah Kapal Induk Pertama AS yang Tenggelam di Dekat Cilacap
Perang Dunia II di Pasifik meninggalkan banyak jejak sejarah di kepulauan Nusantara, yang dipertahankan Sekutu dan diserbu Jepang karena kekayaan alamnya. Salah satu jejaknya ialah kapal induk pertama yang dimiliki Amerika Serikat, USS Langley, yang tenggelam di selatan Kota Cilacap saat membawa bantuan pesawat tempur untuk mempertahankan Pulau Jawa dari serbuan Jepang di awal 1942.
USS Langley—mengingatkan pada nama markas CIA (Badan Pusat Intelijen AS), yakni Langley yang terletak di Negara Bagian Virginia—pertama kali dibangun sebagai USS Jupiter pada Oktober 1917 yang kemudian dikonversi menjadi kapal induk dengan nama USS Langley pada 1920. USS Langley merupakan kapal induk pertama di AS dengan kode lambung CV1 setelah diubah atau dikonversi dari USS Jupiter AC–3. CV ialah kode untuk kapal induk di Angkatan Laut AS (US Navy). Kapal induk dijuluki sebagai flat top karena bentuk mendatar landasan pesawat.
USS Jupiter dengan panjang 165 meter merupakan kapal dengan teknologi turbo elektrik pertama di US Navy dan dikonversi menjadi kapal induk tidak lama setelah Perjanjian Washington yang membatasi jumlah kapal induk negara-negara di dunia pasca-Perang Dunia (PD) I pada Maret 1922. Untuk menyiasati Perjanjian Washington tersebut, Langley didaftarkan sebagai kapal induk riset. Beragam uji terbang perdana US Navy diadakan di geladak terbang USS Langley pada 1920-an.
Ketika mengakhiri tugas sebagai kapal induk operasionalisasi pada 1937, banyak pilot veteran USS Langley yang kelak bertugas di kapal induk USS Lexington dan USS Saratoga yang berperan penting dalam PD II di Pasifik. Setelah pensiun dari tugas operasionalisasi kapal induk, Langley dioperasikan sebagai kapal untuk mengangkut pesawat amfibi–seaplane tender.
USS Langley melanglang buana dalam berbagai penugasan hingga menjelang PD II di Pasifik, berada di bawah Armada Asia US Navy (US Asiatic Fleet) di Pelabuhan Cavite, Teluk Manila, Filipina, pada 1939. Selain di Filipina, AS memiliki Armada Pasifik yang berpangkalan di Pearl Harbour, Negara Bagian Hawaii.
Terlibat PD II
Semasa PD II, USS Langley yang dijuluki “Covered Wagon” diaktifkan kembali oleh USN dari Cavite. Ketika Jepang menyerang Pearl Harbour, kapal ini segera dievakuasi ke selatan ke Balikpapan, kemudian tiba di Darwin, Australia, pada 1 Januari 1942.
Jalur tersebut juga digunakan untuk mengevakuasi panglima AS yang kelak memimpin di mandala Pasifik Barat Daya (SWPA), yakni Jenderal Douglas MacArthur, dari Coreigidor di Teluk Manila dengan PT Boat ke selatan Filipina, lalu diangkut dengan pesawat amfibi PBY Catalina ke Australia.
Sebagai bagian dari kekuatan Sekutu, USS Langley kemudian bertugas di perairan Australia pada awal 1942 di bawah komando ABDA (AS, Inggris, Belanda, and Australia). Ketika itu, US Navy memiliki skadron kapal perusak (destroyer) hingga kapal perusak legendaris USS Houston yang dijuluki “Hantu Gentayangan Laut Jawa” di dalam armada ABDA.
Jalur laut dan udara dari Australia–Selandia Baru–Kaledonia Baru dengan Hindia Belanda–wilayah Indonesia sekarang–ke Singapura yang disebut Perdana Menteri Winston Churchill sebagai “Gibraltar Timur” dan Malaya serta ke kepulauan Filipina dipertahankan dengan gigih oleh pihak Sekutu.
Buku terbitan Angkatan Udara Australia (RAAF) pada 1942 berjudul These Eagles menceritakan tentang penerbangan jarak jauh–terbang ferry–pesawat tempur Sekutu pada awal Februari 1942 dari Darwin–Kupang–Bali–Jawa– Sumatera untuk mempertahankan garis pertahanan Malay Barrier. Malay Barrier mencakup kepulauan Nusantara–Singapura–Malaya yang melindungi Benua Australia.
Ketika Jepang sudah menguasai wilayah timur Nusantara, seperti Makassar, Kendari, dan Ambon, jalur penerbangan tersebut semakin berbahaya sehingga pengiriman bantuan pesawat udara dan pesawat tempur dilakukan dari Perth, Australia, lewat Kota Pelabuhan Freemantle menuju Kota Cilacap di selatan Pulau Jawa.
"Kota Cilacap ibarat Kota Dunkirk di Eropa Barat yang menjadi tempat pengungsian pasukan Inggris yang dikepung Jerman di Perancis pada 1940."
Kota Cilacap ibarat Kota Dunkirk di Eropa Barat yang menjadi tempat pengungsian pasukan Inggris yang dikepung Jerman di Perancis pada 1940. Sejarawan Susanto Zuhdi dalam buku Cilacap (1830-1942), Bangkit Dan Runtuhnya Pelabuhan di Jawa menceritakan tentang persiapan evakuasi dan masuknya logistik pasukan Sekutu melalui Pelabuhan Cilacap yang dianggap aman dari serbuan Jepang dan memiliki akses ke Australia, Sri Lanka, dan tempat-tempat yang masih menjadi pusat kekuatan Sekutu.
Landasan udara darurat disiapkan di Pelabuhan Cilacap untuk menerbangkan pesawat-pesawat tempur Sekutu yang akan dibawa dari Australia ke Jawa. Bandara di Banyumas, Jawa Tengah, Andir–kini Lanud Husein Sastranegara di Bandung, Tjisaoek dekat Serpong, Banten, disiapkan untuk menerima pesawat tempur yang akan dikirim secara estafet dari Australia ke Cilacap. Awak pesawat US Army Air Corps dari Ngoro di Jawa Timur juga sebagian sudah diberangkatkan ke Cilacap untuk membantu persiapan dan penerbangan pesawat tempur untuk menambah kekuatan udara di Pulau Jawa.
Membantu Pulau Jawa
Dalam buku The Loss of Java karya PC Boer disebutkan, pada 23 Februari 1942 USS Langley diperintahkan meninggalkan konvoi MS.5 yang berangkat dari Freemantle, Australia, menuju Kolombo, Sri Lanka, bersama kapal penjelajah USS Phoenix, dua kapal angkut Royal Australia Navy, dan satu kapal angkut US Navy. Sebelumnya, mereka berangkat pada 22 Februari 1942 dari Freemantle di dekat kota Perth.
Panglima ABDA Jenderal Archibald Wavell–setelah menerima nota protes Letnan Gubernur Jenderal HJ van Mook mewakili pihak Belanda–memerintahkan agar pengiriman pesawat tempur tersebut dialihkan untuk membantu pertahanan Pulau Jawa dari serangan Jepang yang semakin mendekat dari arah timur, barat, dan utara dari Makassar, Bali, Kalimantan, dan Sumatra.
Baru pada 25 Februari 1942 USS Langley meninggalkan konvoi MS.5. USS Langley mengangkut 32 unit pesawat tempur P-40 Warhawk–dua skadron lengkap–berikut awak udara dan teknisi. Sebelumnya telah berangkat kapal angkut Sea Witch yang mengangkut 27 pesawat tempur P-40 yang ditujukan semula ke pangkalan Karachi, British India. Posisi kapal Sea Witch yang berangkat dari Melbourne, pantai timur Australia, pada 12 Februari 1942 sudah berada di dekat Kepulauan Cocos atau Keeling di selatan Pulau Sumatera.
Pesawat tempur P-40 Warhawk pada masa awal Perang Pasifik merupakan jenis pesawat tempur andalan Amerika yang digunakan sebelumnya pada pertempuran di China melawan Jepang oleh sukarelawan Amerika dalam America Volunteer Group–AVG yang dikenal sebagai “The Flying Tigers” yang juga muncul dalam film perang legendaris Pearl Harbour karya Jerry Bruckheimer yang dibintangi Ben Affleck dan Josh Hartnett sebagai pilot P-40 pada bagian awal film buatan tahun 2001 itu.
Adapun di selatan Jawa, menjelang kedatangan USS Langley, kapal perusak Amerika, USS Whipple dan USS Edsall, diberangkatkan dari Pelabuhan Cilacap dengan direncanakan bertemu di perairan selatan Jawa untuk mengawal sampai Pelabuhan Cilacap.
PC Boer mencatat, payung udara, yakni pesawat tempur Sekutu yang berpangkalan di Jawa, yang seharusnya melindungi kedatangan USS Langley, dialihkan ke arah Surabaya untuk melindungi armada ABDA, yakni Combined Strike Force di bawah Komando Laksamana Muda–Schout bij Nacht–Karel Doorman.
Ketika itu, Panglima Komando Udara Jawa–Java Air Command–Mayor Jenderal van Oyen meminta Panglima Kekuatan Darat ABDA yang juga Panglima KNIL Jenderal Hein Ter Poorten agar mengalihkan pesawat-pesawat tempur Brewster Buffalo milik Militaire Luchvaart Dienst–MLD atau Dinas Penerbangan Militer KNIL–dari Andir, Bandung ke Banyumas, untuk melindungi USS Langley yang minim perlindungan udara. Ter Poorten mengabaikan permintaan tersebut dan memprioritaskan perlindungan udara bagi Combined Strike Force di Surabaya yang akan terlibat dalam Pertempuran Laut Jawa pada 27 Februari di dekat Pulau Bawean di barat laut Surabaya.
Untung tak bisa diraih, malang tak bisa ditolak. Armada ABDA dipukul oleh Jepang dalam babak satu Pertempuran Laut Jawa pada petang 27 Februari 1942 yang berlanjut dalam Pertempuran Selat Sunda pada 1 Maret 1942. Sementara di selatan Cilacap, nasib USS Langley pun berada di ujung tanduk.
MLD pada 26 Febaruari 1942 mengirimkan dua pesawat amfibi PBY Catalina dari Vliegtuigen atau Skadron Udara 5 dengan nomor seri Y-65 dan Y-71 untuk mengintai kehadiran armada kapal atau pesawat Jepang sekaligus menjadi “payung” bagi USS Langley menyusul kapal penyapu ranjau Koninlijk Marine– AL Belanda Willem van Der Zaan, dengan senjata anti-serangan udara yang dikirim pada 25 Februari 1942.
Kapal penyapu ranjau tersebut sempat bertemu dengan USS Langley pada 26 Februari di selatan Jawa. Sekali lagi nasib buruk, mesin Willem van Der Zaan mengalami kerusakan sehingga kecepatannya turun, hanya 6 knot. Praktis, dia tidak bisa mengawal USS Langley yang melaju dengan kecepatan penuh. Mereka berpisah pada pukul 10.00.
Adapun kapal kargo Sea Witch dengan menempuh jalur berbeda berhasil menurunkan muatan di Cilacap, yakni sejumlah 27 unit pesawat pada 28 Februari 1942. Segera pesawat-pesawat tersebut dibawa dengan kereta api ke Tasikmalaya dan Bandung untuk dirakit oleh para teknisi. Hal ini berbeda dengan pesawat tempur yang diangkut USS Langley yang tidak dalam keadaan terurai.
Untuk menghindari sergapan Jepang, USS Langley tidak berlayar lurus langsung ke Cilacap. Pada 26 malam menjelang 27 Februari, pihak Sekutu tidak berhasil memantau keberadaan kapal-kapal ataupun pesawat Jepang yang sudah menguasai lautan dari Timor-Bali dan sekitar Makassar-Banjarmasin di timur serta Sumatera Bagian Selatan di barat Pulau Jawa.
Pada pagi hari tanggal 27 Februari 1942, pukul 07.15, USS Langley berhasil bertemu dengan dua destroyer pengawalnya, yakni USS Whipple dan USS Edsall, berikut dua pesawat amfibi PBY Catalina MLD dari Vliegtuigen atau Skadron Udara 5 pada posisi beberapa ratus kilometer di selatan Cilacap. Mereka bergerak beriringan hingga pada pukul 12.00 di jarak 75 mil laut atau sekitar 135 kilometer selatan Cilacap, muncul empat bomber mesin ganda Jepang jenis Mitsubishi GM4 “Betty” dari Takao Kokutai atau Skadron Takao yang berangkat dari Bali berhasil menyerang konvoi Sekutu tersebut.
Sekali lagi nasib malang terjadi, gelombang kedua serangan muncul berupa beberapa pesawat tempur Mitsubishi A6M Zero atau Navy O dari Kokutai atau Skadron Tiga dan Tainan Kokutai atau Skadron Tainan yang merupakan unit tempat pilot Ace Jepang yang legendaris, Saburo Sakai, bertugas. Mereka juga berangkat dari lapangan udara Kuta di Bali.
Selain menghantam USS Langley dan dua kapal perusak yang mengawal, pilot-pilot Jepang nyaris menembak jatuh PBY–Catalina dengan nomor ekor Y-65 yang berhasil mendarat darurat di Cilacap.
USS Langley yang terbakar hebat akibat serangan bom Jepang terpaksa ditinggalkan awak kapal, sementara para awak pesawat udara P–40 Warhawk dievakuasi ke kapal perusak dan dibawa ke Cilacap. USS Langley yang dalam keadaan rusak berat akhirnya terpaksa ditenggelamkan–scuttled–agar tidak jatuh ke tangan musuh. Langley ditenggelamkan dengan tembakan meriam permukaan dan torpedo dari kapal perusak yang mengawal.
Muatan sebanyak 32 pesawat tempur P-40 Warhawk yang diangkut USS Langley dan 27 pesawat tempur Warhawk yang diangkut Sea Witch-total 59 pesawat tempur dengan armor atau besi pelindung lebih kuat daripada pesawat tempur Zero Jepang–seandainya tiba lebih awal di Cilacap (mereka berangkat langsung dari Freemantle pada 22 Februari dan tiba di Cilacap pada 24 Februari) bisa jadi bakal mengubah perimbangan kekuatan udara Sekutu melawan Jepang dalam pertempuran terakhir di Jawa antara armada Sekutu dan armada Jepang.
Namun, sejarah tidak mengenal kata seandainya–what if. USS Langley, kapal induk pertama AS, kini bersemayam di dasar Samudra Hindia di selatan Kota Cilacap, pintu selatan Pulau Jawa….
Sumber:
Santosa, Iwan dkk. "Kisah Kapal Induk Pertama AS yang Tenggelam di Dekat Cilacap". Kompas Interaktif. Diakses pada tanggal, 27 Februari 2021.
Comments
Post a Comment